Pilihan dan Jarak

I have died everyday waiting for you
Darling don’t be afraid I have loved you
For a thousand years
I’ll love you for a thousand more

– A Thousand Years, Christina Perri –

Beberapa hari lalu, seorang teman curhat bagaimana dia merindukan keluarga yang ‘normal’. Saya lalu bingung, normal seperti apa yang dia maksud. Dia bilang, yang normal menurutnya itu ialah suami, istri dan anak berkumpul di suatu tempat yang disebut rumah.

Lalu saya hanya tersenyum, lanjut saya bilang ‘akan ada waktunya’. Saya gak mau terlalu banyak bertanya, karena saya memang udah tahu, bahwa teman saya ini hanya bisa ketemu istri dan anaknya di weekend, yaitu sabtu dan minggu. Saya mungkin bisa merasakan kerinduan dari cerita-ceritanya pada saya. Beberapa kali kami sempat ngobrol soal ini.

Tentu gak sedikit keluarga yang seperti itu, karena pekerjaan suami dan istri lalu harus terpisah jarak. Ada beberapa teman saya pun seperti itu, Jakarta – Bandung misalnya yang gak terlalu jauh, juga ada yang beda pulau dan bahkan beda negara. Ini semua soal pilihan yang dijatuhkan bersama-sama, antara suami dan istri. Bagaimana inginnya satu dan yang lain. Jika dari awal keputusan untuk LDR (Long Distance Relationship) disepakati, ya seharusnya semua harus belajar untuk lebih memahami banyak hal, termasuk pekerjaan masing-masing. Tentu waktu akan menjawab banyak pertanyaan yang datang. Ya, pandangan sok bijak inilah yang saya berikan ke temen saya tersebut.

Banyak juga yang akhirnya memilih untuk mengikuti suami atau istrinya. Yuk Anti yang akhirnya mengikuti suaminya ke Qatar, Amel yang akhirnya bentar lagi pindahan setelah 3 tahun di Bengkulu untuk bersama suaminya di Jakarta, atau seperti teman saya yang berencana mengikuti istrinya tinggal di Jakarta setelah ia menikah nanti. Semua tentulah soal pilihan kedua belah pihak. Tidak mudah memang, dan hal ini sebenarnya sih normal-normal aja kan ya :) yang gak normal justru disaat bersama, malah ndak punya waktu buat ngumpul keluarga, bener gak? :)

Social Media = Pencitraan, Iya Kah?

Taraweh hardcore di Mesjid Al-Hikmah ~ diambil dari status Twitternya ‘sepupu’.

Apa yang ada dipikiran teman-teman jika baca status tersebut? Beberapa orang akan bilang ‘ini orang pasti alim banget‘ dan mungkin sebagian lagi akan berpikir ‘pencitraan doang tuh‘. Ya, apapun bisa terjadi di social media macam Twitter. Hanya dengan 140 karakter akan terbangun banyak komentar dan citra diri yang bisa saja membawa kalian terlihat lebih baik, lebih buruk atau memang apa adanya.

Sebagai pengguna aktif  Twitter, yang sebagian besar orang-orangnya saya kenal (pernah ketemu) tapi banyak juga yang cuma kenal di socmed/blog doang. Saya mungkin tidak pernah tahu bagaimana pribadinya orang ini dan orang itu, apakah yang saya kenal di socmed adalah benar-benar sosok orang tersebut atau justru sebaliknya. Seperti status Twitter tersebut diatas, saya rasa biasa aja buat bulan ramadhan seperti ini banyak yang ngetuit seperti itu. Gak ada salahnya, saya meyakini hal-hal seperti itu bukan cuma membangun citra diri tapi mungkin juga memprovokasi orang lain untuk melakukan hal yang sama (secara tidak langsung). Hanya dengan 140 karakter kita diminta untuk membuat kalimat yang paling pas untuk banyak hal, termasuk untuk citra diri yang ingin kita buat tadi. Mau membangun citra sebagai cowok alim, baik hati dan tidak sombong, rajin menabung bisa aja dengan mudah tapi mungkin saja aslinya gak begitu. Begitu juga sebaliknya.

Bagaimana pembaca?

Nah, sebagai pembaca atau follower, kita sendirilah yang tau dan mempercayai banyak hal itu. Kita sendiri yang bermain pada citra orang lain yang kita bangun dalam pikiran kita. Tapi proses (dengan waktu) akan menciptakan bagaimana sesungguhnya. Ya, yang mengikuti saya di Twitter sejak 5 tahun lalu hingga sekarang, akan berbeda cara mengenalnya dengan yang baru follow saya seminggu misalnya.

Pencitraan yang mana? :D

Saya hanya yakin jika ngetuit adalah hal sehari-hari yang kita lakukan, kita akan kesulitan jadi orang lain. Seperti juga blog, apa yang kita tulis akan membawa kita pada banyak hal yang kita sukai dan dari sana kita bisa mengenal si narablog sedikit demi sedikit. Saya yang suka review buku, orang akan berpikir saya penyuka buku dan aslinya ya memang seperti itu. Akan dengan sendirinya keluar tuit #curcol (curhat colongan) atau #pamcol (pamer colongan) dan lain sebagainya.

Satu lagi, jangan terlalu serius menanggapi banyak hal di Twitter. Banyak yang harus diverifikasi *halah* dan banyak juga yang mungkin gak harus kamu percayai. Masa’ iya misal ada yang pake *ketjup basah* dan *ngakak guling-guling* dipercaya beneran ngakak sambil guling-guling sih? :D

Ya, silakan aja temen-temen hidup dengan sosok yang diciptakan sendiri, tapi inget aja  manusia tetap ada kurangnya kan ya :D

*gambar diambil dari sini*

Review Buku The Key

The Key

Judul Buku : The Key
Penulis : Junichiro Tanazaki
Penerjemah : Rahmani Astuti
Penerbit : Serambi
Jumlah Halaman : 200 Halaman
Harga : Rp. 30.000
ISBN : 9789790243859

Ketika Komunikasi Pasangan Hanya Melalui Buku Harian.

Penulis Jepang? Rasanya saya hanya menyukai cerita detektif Conan dan serial pemecahan misteri pembunuhan ala detektif, itu memang yang terkenal dari penulis Jepang. Saya aja kali ya yang kebanyakan baca komik begituan :D

Awalnya saya bingung kenapa saya dikasih buku genre beginian yak? biasanya gak gitu kan, ada beberapa orang teman yang memang suka novel-novel bertema dewasa seperti ini. Ya, lihat aja itu sub judulnya, Catatan harian Seorang Istri Penuh Gairah dan Seorang Suami Pencemburu. Tapi tenang, ternyata isinya bukan ala novel dewasa yang banyak adegan begituan. Mungkin penerjemahnya harus membuat seperti itu karena memang begitu dari sononya, maksud saya dari tulisan aslinya.

The Key menceritakan bagaimana sepasang suami istri berkomunikasi via buku harian. Saya pikir diawal saya akan membaca buku harian dari sisi suaminya, ternyata saya salah, sebagai pembaca kita akan bisa membaca keduanya, dari sisi suami dan istrinya, karena keduanya bercerita dalam buku harian masing-masing yang dibedakan dari jenis fontnya saja.

Sang suami bercerita tentang kehidupan dengan istri yang sudah 20an tahun bersamanya juga tentang hubungan seksnya. Hey, jangan ngarep ditulis detil yak. Menuliskannya di buku harian yang sebenarnya dia ingin agar si istri bisa membacanya. Namun, sang istri tidaklah membacanya, malah membuat catatan sendiri tentang suaminya.

Sampai sini, saya lantas mengerutkan dahi, kenapa ada sepasang suami istri yang tidak mau berbicara lisan saja, kalaupun sudah ditulis ya mbok dibilangin ‘nih baca tulisan saya’, agar semuanya menjadi lebih baik bukan? Dari sana nantinya bisa diskusi, apa yang salah, apa yang sebaiknya dilakukan dan mendengarkan ide keduanya.

Oke, saya lanjut dulu ya ceritanya :D

Read more