Judul Buku : 86
Penulis : Okky Madasari
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Jumlah Halaman : 256 Halaman
Harga : Rp. 45.000
ISBN : 9789792267693
Apa yang ada dalam benak kalian ketika mendengar istilah 86 (delapan enam) ?
Jujur saja, saya berasa denger polisi yang sedang bertugas. Awalnya saya pikir 86 itu berarti sebuah istilah untuk mengatakan setuju atau ‘oke’. Ternyata saya kurang tepat. Istilah lapan enam atau dalam huruf ditulis ”86” adalah salah satu kode atau sandi yang harus dipahami oleh anggota polisi. Sandi itu memiliki arti sama-sama mengerti atau memahami. Makin kesini, istilah 86 ini jadi berarti ‘beres’. Ya, semua bisa ‘beres’ asal ada ‘pelicin’nya. Nah, isu inilah yang diangkat oleh Okky Madasari dalam buku keduanya.
Dikemas dalam sebuah novel, 86 ini saya rasa mampu menyodorkan gambaran Indonesia saat ini. Membuka mata saya akan banyaknya hal yang KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) pun rasanya sulit untuk membunuhnya. Saya rasa Okky mempunyai nyali besar untuk membuat novel seperti ini, mengangkat isu yang ‘rawan’ diberitakan dan ini membuat saya salut.
Menceritakan Arimbi, seorang gadis desa yang beruntung keterima jadi PNS (Pegawai Negeri Sipil) sebagai seorang juru ketik di sebuah pengadilan di Jakarta. Setelah 4 tahun menjadi pegawai yang ‘lurus-lurus’ aja akhirnya Arimbi mulai pengen kenal banyak pengacara demi sedikit-sedikit belajar ‘minta bonus’ dari pekerjaannya. Ini semua juga di dukung sama teman sekantornya dan juga pacarnya, Ananta.
Menyadari bahwa minta sedikit bagian dari pekerjaannya dari banyak pengacara bisa meningkatkan keuangannya, Arimbi melakukannya lagi dan lagi, hingga akhirnya Arimbi ditangkap oleh KPK. Di penjara pun Arimbi akhirnya melakukan hal yang mungkin awalnya ga disangkanya, mulai dari menyukai sesama tahanan sampai menjadi kurir sabu-sabu. Tapi ternyata, untuk mengakhiri ‘peran’nya juga suaminya sebagai kurir sabu-sabu tidaklah mudah, dan tebak deh, biasanya yang kayak gini ada aja kualatnya.
Saya salut sama penulis novel ini, Okky berani sekali menuturkan banyak hal yang membuat saya tercengang, saya rasa Okky butuh waktu untuk riset sampai akhirnya buku ini terbit dan dibaca masyarakat. Saya sempet diskusi sedikit dalam perjalanan dengan suami, karena Ayah mertua saja dulu adalah mantan hakim pengadilan tinggi agama, dan suami saya membenarkan banyak hal yang diceritakan Okky dalam buku ini.
Dari segi cover, saya rasa tidak terlalu menarik awalnya, tapi justru isi ceritanya yang membuat buku ini sangat menarik. Gaya penceritaannya mudah dipahami dan mengalir lancar. Dasar cerita pedesaannya hampir sama dengan buku pertama Okky yaitu Entrok, sepertinya Okky konsisten dengan jalur cerita yang satu ini :senyum:
Beginilah gambaran Indonesia, tanah air saya, yang di dalamnya masih saja semua diatur dengan ’86’. Yang ga punya duit, ya jangan harap semuanya bisa berjalan lancar. Itu sebabnya saya menghindari sekali sesuatu hal yang berhubungan dengan pengadilan dan polisi. Ayah mertua saya bilang semua ini masalah pilihan, jika memilih untuk melakukan hal seperti itu, ya semua ada resikonya :)
:baca: jadi pengen baca semua bukunya… :matre: