Apa yang kalian pikirkan tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang negara kita punya sekarang?
Program JKN sendiri sebenarnya lebih sering kita dengar yaitu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan dibagi menjadi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan yang sudah ada sejak tahun 2013. Saya akan lebih lanjut ngomong soal JKN ini setelah saya ulas mengenai film dokumenter yang berjudul Enam Penjuru yang dibuat oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia bersama Friedrich Ebert Stiftung (FES).
Saya dan teman-teman blogger diundang untuk ikut diskusi dan nonton langsung film dokumenter tersebut di The 101 Hotel Palembang, Rabu 19 Desember 2018 kemarin. Tapi sepertinya film ini memang tidak (atau belum) diterbitkan di Youtube atau kanal video lain yang bisa ditonton oleh banyak orang. Film ini menyoroti tentang sistem JKN yang sudah berjalan di Indonesia. Ada enam jurnalis AJI yang terpilih dan ternyata hampir semua bukan yang terbiasa membuat merekam video, sehingga Watchdoc membantu dari segi teknis filmnya. Keenam jurnalis tersebut dilatih selama tiga hari saja untuk mendapat pelatihan bagaimana merekam gambar demi keperluan film ini. Dari sisi isi film tentu saja dikembalikan pada para jurnalis. Karena itu lah film ini diberi judul Enam Penjuru.
Filmnya sendiri memperlihatkan bagaimana beberapa pasien sakit yang menggunakan JKN ini. Di Jakarta ada seorang yang harus cuci darah tiap dua kali seminggu dengan menggunakan Kartu Jakarta Sehat, gratis. Di Manado seorang ibu yang terkena kanker bisa menggunakan BPJS dari rumah sakit di daerahnya hingga harus dibawa ke rumah sakit rujukan yang lebih besar dan harus menggunakan kapal laut menuju ke sana. Ada lagi di Banyumas, pekerja yang jatuh saat mengumpulkan gula aren bisa menggunakan BPJS ini.
Ada lagi menyoroti seorang bidan bernama Aning yang rela memberi informasi terkait BPJS ini untuk orang-orang didesanya hingga memberi motivasi mereka untuk bisa menabung guna membayar iurannya tiap bulan. Ada juga di Bali yang menyoroti bagaimana Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) juga bisa menggunakan BPJS ini. Yang menarik juga di Aceh, warga di sana lebih menyukai sistem kesehatan daerah yang lama sebelum BPJS ini karena dinilai lebih mudah cuma bawa fotokopi Kartu Keluarga saja. Serunya lagi, masih di Aceh ada seorang ibu pegawai negeri (yang memang punya BPJS) malah merasa lebih rela merogoh kocek lebih banyak demi berobat ke Malaysia, negara tetangga yang dinilai lebih memberikan kenyamanan dalam pengobatannya. Kalo teman saya menyebut, hospital tourism. Benar saja diperlihatkan bahwa si ibu tinggal bikin janji di salah satu RS sana, dijemput dari bandara hingga gak perlu menunggu langsung ketemu dokternya yang baik dan penuh senyum.
Saya merasa film ini sudah baik dan menarik. Bisa dikatakan berhasil merekam bagaimana sistem JKN atau BPJS sendiri digunakan oleh warga. Terlebih diambil dari beberapa daerah yang memang bisa memperlihatkan Indonesia yang merupakan kepulauan, ada yang harus pergi ke RS pulau lain, dari sisi Jakarta dengan kemudahan akses kesehatannya hingga Aceh. Sayangnya film ini terasa terlalu berat sebelah, kebanyakan memperlihatkan bagaimana BPJS bisa digunakan oleh warga, tapi tidak memperlihatkan bagaimana kesulitan yang diterima warga ketika menggunakannya. Ya, selain harus ngantri berlama-lama hingga kesulitan mendapatkan kamar
Beberapa wawancara juga sebenarnya harus dilakukan, tidak hanya menyoroti warga, tapi bagaimana dengan penyedia fasilitas kesehatan itu sendiri, dari RS swasta misalnya? atau dari sisi dokternya gitu? Itu tidak ada dalam film ini. Terus terang saya dan teman-teman blogger yang hadir merasa film ini seperti film ‘titipan’ dari BPJS. Ya, tentu saja itu dibantah oleh jurnalis AJI yang hadir dalam diskusi kemarin.
Ada beberapa hal sebenarnya juga bisa terekam lebih dalam. Saya malah merasa cerita tentang ODHA di Bali itu porsinya sedikit sekali. Benar saja, Bapak Timbul dari BPJS Watch (ya saya baru tau ada lembaga ini) menilai film yang berdurasi 47 menit ini bisa dibuat lanjutannya, mungkin diangkat untuk BPJS Ketenagakerjaan.
ini sepertinya film wajib tonton ya mbak