Saya selalu terkagum kepada mereka yang suka menggambar, entah itu ilustrasi, lukisan atau gambar doodle sekalipun, walaupun saya juga gak ngerti seni yang gimana- gimana banget ya. Karena itu saya mengikuti beberapa orang yang hobi dalam urusan menggambar, melukis dan apapun nama lainnya lah. Menarik dan menyenangkan sekali buat saya yang gak bisa gambar ini.
Sama halnya dengan blogger, saya juga sering mengunjungi blog kawan-kawan blogger untuk membaca tulisan mereka atas banyak hal. Dulu sih saya masih suka ketawa ngakak membaca tulisan Raditya Dika dalam blognya dan saya masih bisa membaca cerita melankolis khas teman saya, walau kini hal yang remeh begitu udah jarang banget bisa dibaca dalam sebuah blog pribadi.
Blog zaman dulu isinya terlihat personal karena memang berupa jurnal harian, di mana kadang sedih dan senang bisa diceritakan. Sekarang ya susah menemukan tulisan begitu, walau teman-teman saya masih banyak yang melakukannya. Saya pun ingin menulis lebih banyak seperti dulu, lebih mengalir tanpa khawatir siapa saja yang akan membacanya.
Banyak orang bisa menulis dengan baik. Saya punya beberapa penulis favorit yang selalu saya tunggu karyanya dalam sebuah buku, ya walau gak seheboh dulu yang sering ikutan pre order, saya lebih memilih untuk membaca buku dengan santai dan menikmati ceritanya atau apa yang diceritakan penulis dalam buku tersebut.
Sebagai pembaca, apakah mood seringkali mengatur jenis bacaanmu? Kalo saya, jelas iya. Saya bersyukur punya banyak buku yang belum dibaca (baca : timbunan), saya bisa dengan mudah mencari buku mana yang hendak saya baca. Misalnya lagi pengen baca non-fiksi, saya akan mengambil buku non-fiksi, saya lagi pengen baca buku romansa ya saya baca buku romansa. Jika ingin bacaan ringan, saya ambil komik atau buku puisi. Yang seperti ini bisa bikin saya baca lebih cepat dan lebih terasa mudah untuk diselesaikan. Jangan memaksakan membaca sesuatu yang tidak disukai hanya karena orang sudah membaca buku tersebut.
Sebuah buku adalah hasil karya dari seorang penulis. Kita wajib untuk menghargainya, entah nanti bagaimana penilaian dari buku tersebut ya dikembalikan lagi pada para pembaca. Seringkali ada hal-hal yang membuat kita enggan untuk membaca sebuah karya, salah satunya karena pribadi si pembuat karya.
Mari kita bicara soal penulis dan bukunya, si pembuat karya dan karyanya adalah dua hal yang berbeda. Silakan jika ada yang tidak setuju dengan pendapat saya ini. Sebuah karya yang dibuat tidak ada sangkut pautnya dengan kepribadian pembuatnya, jika dibilang memengaruhi sih iya, banget malah. Nyatanya dua hal ini tidak bisa dilepaskan, antara karya dan pembuatnya selalu dikaitkan. Saya berjuang sekuat tenaga sih sebenarnya untuk tidak mengaitkannya, tapi tetap saja kadang saya kalah. Benar kata seorang teman, pembaca itu punya selera, agak sulit rasanya jika harus membaca satu buku yang kita tahu penulisnya sangat menyebalkan. Ya, kalau tidak suka sama seorang penyanyi tapi lagunya bagus, ya masih bisa didengarkan kan ya? Nah kalo baca buku bagaimana?
Salah satu contoh, tadinya saya menyukai tulisan-tulisan HSR, saya juga sempat membaca dan merasa terpukau dengan bukunya 99 Cahaya di Langit Eropa, tapi setelah melihat lebih dekat dari sosial medianya yang kerap kali buat saya itu ‘gak banget’, saya memutuskan untuk tidak lagi membaca bukunya. Rekam jejak yang ditinggalkannya di ranah maya terlalu mudah untuk dilihat dan membuat saya sebal dan kesal.
Saya tahu bahwa setiap orang tak terkecuali penulis, itu tak sempurna, semua punya kekurangan, sejauh penulis itu tidak menjelekkan orang lain. Saya amat sangat kesal dengan orang-orang yang berpendidikan tinggi tapi malah seringkali melukai orang lain. Merendahkan dan menjelekkan orang lain tidak lantas membuatmu menjadi lebih tinggi.
Ya, semoga para pembuat karya sadar bahwa mereka akan kehilangan penyuka karya mereka hanya karena tidak bisa menjaga kata-kata dan kelakuan di sosial media.
Haha idem mbak. Aku juga kalau illfeel sama si penulis jadi pengaruh terhadap minat baca karyanya. Termasuk si HSR ini.
Kalau saya ini terjadi sama Ika Natassa sama Tere Liye. Kalau Ika Natassa sebenarnya sifat aslinya sangat tercermin di novel-novelnya. Kalau sama Tere Liye merasa dibohongi, nama feminin begitu ternyata seorang laki-laki dan memiliki pandangan yang bisa sangat berbeda dengan apa yang ditulisnya.