Dengan best seller-nya novel karya uda A.Fuadi, Negeri 5 Menara yang terkenal dengan mantra ‘man jadda wajada’, akhirnya dibuatlah sebuah film dengan judul sama seperti novelnya. Novel ini sebenarnya buku pertama dari trilogi Alif Fikri. Buku keduanya, Ranah 3 Warna saya rasa justru lebih menarik dari pada buku pertama. Entah bagaimana buku puncak dari trilogi ini. Karenanya, saya tidak terlalu berekspektasi terlalu tinggi akan film ini. Nyatanya, seperti yang sudah saya duga.
Negeri 5 Menara mengisahkan beberapa orang anak laki-laki usia SMA dengan sentral cerita si Alif Fikri, orang Padang yang merantau ke Pondok Madani dalam rangka mengikuti keinginan sang ibu agar dia bisa jadi santri. Dengan enggan akhirnya Alif tes dan akhirnya diterima di Pondok Madani. Bertemanlah dia dengan beberapa kawannya antara lain Raja, Baso dan Atang. Mereka semua menyebut diri mereka Sahibul Menara, dengan cita-cita perjalanan mereka masing-masing menaklukkan belahan dunia mana. Silakan kesini buat yang mau baca review bukunya, udah pernah saya tulis soalnya.
Berangkat dari rasa ingin tahu seperti apa novel ini difilmkan, saya nyempetin nonton film ini. Seperti yang saya bilang diawal, entah kenapa saya merasa film ini amat datar. Man Jadda Wajada seakan-akan hanya keras diucapkan para pemainnya namun tidak terlihat secara nyata. Scene dimana kepergian Baso yang harusnya menjadi satu cerita dramatis, terlihat biasa saja. Saya menginginkan film ini lebih bisa menampilkan usaha para sahibul menara yang berusaha keras bukan cuma keras meneriakkan ‘man jadda wajada’.
Dan, ngomongin soal pemerannya. Oke lah kalo Alif ya, pas banget sama apa yang ada dalam imajinasi saya. Tapi gak pas menurut saya dengan pemeran Randai, kenapa harus Sakura Ginting ya? Saya ngerasa gak pas aja, harusnya bisa yang lebih ganteng dari Alif, disini Randainya terlihat selengean gitu :D
Begitu juga dengan Bapaknya Alif yang diperankan David Chalik, kurang kurus deh, kan diceritakan Bapaknya Alif sakit-sakitan. Lulu Tobing yang memerankan Ibunya Alif pun cantik pisan euy dengan gelangnya yang banyak, kayaknya gak pas aja dengan hidup sederhananya keluarga Alif.
Diceritakan diakhir, Alif berubah menjadi Ario Wahab ini paling pas, dan saya agak gak rela kalo ternyata si Raja gedenya diperankan Hardy Hartono, ganteng banged yak.
Walaupun begitu, saya rasa ini tetap film yang baik bagi yang belum pernah baca bukunya. Ost-nya bagus dan terutama bagaimana hubungan antara ustad dan santri dalam film ini baik sekali, juga dengan kisah bagaimana bijaknya kyai di pondok Madani bisa membimbing para santri untuk mengatasi kesulitannya sendiri. Tapi, bagi saya yang udah baca bukunya, mungkin sedikit kecewa dengan film ini.
*poster film dari 21cineplex*
sayang di bagian akhir keknya gak penting-penting amat ditampilkan (menurut saia lho)
Yak, sebenarnya saya sepaham dengan pendapatmu, Nik.
saya belum pernah baca novel kemudian nonton filmnya. akibatnya sedikit kecewa. beberapa adegan yang seharusnya lebih dramatis, menjadi sangat datar.
tapi bagi yang belum baca novelnya, mungkin akan terasa sangat bagus.
but overall, keren sih.
Aku sih seneng-seneng saja karena scene yang melukiskan Jawa Timur tahun 90-an awal lumayan detail. Ada mobil pickup Colt yang sangat legendaris, terus nama busJaya yang sampai sekarang masih melayani rute Ponorogo – Madiun. Selama film berlangsung nggak terlalu merhatiin plot-nya, tapi menikmati scene by scene nya ^_^
klo settingnya sih baik sekali, bagaimana digambarkan Padang dan Jawa Timurnya.
Yang gak pas menurutku jalan ceritanya mas Galih.
Beberapa kejadian penting seperti bagaimana Mike Tyson menghukum Alif (bukan yang rame2 pas ngangkat lemari itu ya) tidak ada dalam film tersebut, padahal disana juga ada pesan moral penting menurutku.
udah nyatet agenda, harus bawa anak2 nonton film ini. Mereka belum baca bukunya, smoga terpuaskan dan bisa ngambil hikmahnya.
Resiko buku yg di-film-kan, pasti kurang sesuai dengan imajinasi yang kita dapat saat baca bukunya sih.
bener mbak, imajinasi pembaca kadang gak sesui dengan yang diinterpretasikan di dalam filmnya. Selamat menonton ya :)
bener niy.. belum baca bukunya tapi pas nonton juga tetep aja selesainya ngga bisa ngebayangin tentang cerita asli menurut buku.. harusnya bisa lebih spekta ya.. :) alurnya lambat banget… :D
saya jadi ingat dulu waktu tsanawiyah pernah diajarin ‘man jadda wa jada’. Mudah2an ntar bisa nonton filmnya…
Sama mbak…seluruh imajinasi dedek saat baca bukunya kurang tertuang didalem film. mungkin ini adalah salah satu keindahan bahasa buku yang tidak bisa disiratkan dalam sebuah film. berharap next film akan lebih bagus yaa buat Ranah 3 Warna… :cinta:
Oh Pondokku tempat naung kita. Dari kecil sehingga dewasa :-)
film ini mengenang masa -masa di sana. Masjid, suasana pondok dll. Ya walau saya lebih suka novelnya :-)
meskipun ceritanya ga sesuai sama bukunya, aku ttp suka.. suka banget. pun mungkin dpt merubah pandangan sebagian orang2 ttg dunia pesantren, yg dipelajari ga melulu soal agama, kehidupan di pondok, trus ttg mimpi yg ga melulu harus `lurus` malah mungkin dapatnya lebih keren!