Siapa sih zaman sekarang yang gak punya akun Facebook? Hampir semua saya rasa punya, Facebook udah kayak KTP untuk dunia perinternetan, kalo gak punya akun Facebook kayaknya dianggap aneh banget. Per hari ini, saya malah menonaktifkan Facebook. Lho kok?
Saya udah pake Facebook lumayan lama, mungkin dari tahun 2008 (gak inget persisnya kapan, lebih dari Twitter sepertinya). Benar memang, Facebook adalah ukuran seseorang itu dikenal dalam dunia internet. Saya juga punya kartu nama pribadi yang diberikan oleh Facebook zaman dulu banget, dengan gambar laman Facebook kita sendiri. Waktu itu dikasih cuma-cuma alias gratis dari Facebook kerjasama dengan moo.com (tinggal bayar ongkos kirim aja).
Jelas Facebook memberikan kemudahan bertemu dengan para kawan-kawan lama. Saya bisa ketemu dengan kawan yang sudah lama sekali gak ketemu dari Facebook. Kawan yang sempat les bareng dulu waktu zaman SD, kawan-kawan TK, SD ya sebutlah yang ketika itu internet belum hidup di Indonesia. Senang memang akhirnya bertemu kawan lama. Facebook berguna sekali untuk mempertemukan kita pada kawan juga kerabat sodara yang jauh di mata. Kita bisa tahu apa saja update tentang kawan, sodara, kerabat jauh hanya dengan ngecek halaman Facebook saja.
Dulu, ketika Facebook belum lahir, ada yang namanya Friendster. Berbeda dengan Facebook yang membuat saya menemukan kawan lama, Friendster justru memberi saya kesempatan untuk berkenalan dengan banyak kawan baru yang bahkan hingga sekarang masih kontak dengan baik. Setelah Friendster mati, keluarlah Facebook sebagai gantinya. Memang lebih cakep dari segi tampilan, lebih baik, lebih canggih yang akhirnya bikin Mark Zuckerberg makin terkenal.
Makin ke sini, Facebook makin rakus menurut saya, beli Instagram dan WhatsApp juga. Gak cuma menjadi sangat besar ini Facebook, kasus soal privasi juga makin terbuka lebar. Dari skandal Cambridge Analytica, iklan politik yang dibolehkan sampe masalah data nomer hp yang bocor baru-baru ini. Yang awalnya saya jengah liat timeline Facebook saya berhamburan kawan-kawan yang gontok-gontokan sejak pemilihan presiden tahun 2014 sekarang ditambah masalah privasi yang rasanya sangat masuk akal untuk menyetop diri menggunakan Facebook.
Tahun 2018 lalu, saya masih rajin mengupload info soal drama Korea yang saya tonton. Tahun ini saya udah mulai pindah ke Twitter, walau gak bisa sepanjang di Facebook nulisnya, saya rasa tahun depan saya bisa mulai menulis di blog saja, hitung-hitung bisa membuat saya lebih rajin posting blog. Sejak aplikasi pihak ketiga tidak bisa lagi langsung posting di halaman Facebook, sejak itu juga update postingan baru dari blog gak lagi muncul, saya mulai malas kalo harus sebar-sebar link manual ke semua sosial media.
Facebook lalu mulai dikenal sebagai tempat banyak disinformasi disebarkan, saya pun udah jarang banget upload-upload foto juga update status gak jelas kayak zaman awal dulu. Lalu, tahun 2018 akhir saya mulai menghapus aplikasi Facebook dari hp. Januari 2019 mulai tidak lagi login melalui browser juga. Hari ini, saya kembali login Facebook hanya untuk menonaktifkan akun Facebook saya. Ini untuk diri saya sendiri, sebagai cara detoks data yang paling mungkin saya lakukan setelah berhasil mengurangi penggunaan produk Google sejak tahun 2017.
Teman saya bilang, kenapa gak sekalian nonaktifkan Instagram dan WhatsApp juga karena sama-sama punya Facebook? Alasan paling kuat adalah karena saya masih menggunakan keduanya. Untuk WhatsApp karena kawan dan keluarga semuanya pada pake aplikasi pesan singkat ini, walaupun saya sendiri lebih suka pake Telegram, jadi biasanya saya lebih milih chat dengan Telegram baik untuk pribadi juga grup. Instagram juga masih dipake, tapi ya siapa tahu nanti ada tandingannya IG bisa digantikan.
Gak punya Facebook saya gak apa-apa kok. Hidup saya akan tetap baik-baik saja.
Suatu saat kyknya juga pengin ikutan tutup akun nih… 🙂